Misil Apa yang Bisa Menjatuhkan MH17 di Ketinggian 33 Ribu Kaki?
Intelijen Amerika Serikat (AS) menduga, pesawat Malaysia Airlines MH17 dijatuhkan roket saat terbang di atas daratan Ukraina. Hingga kini belum ada yang bisa dimintai pertanggungjawaban. Namun diskusi soal misil yang digunakan sudah mencuat.
CNN membuat analisis jenis senjata apa yang bisa menjatuhkan sebuah pesawat Boeing 777-200 di udara yang sedang terbang di ketinggian 33 ribu kaki. Sejumlah komentar ahli dan pihak yang berwenang dikumpulkan, termasuk dari pihak Ukraina.
Pertama, ada Anton Gerashchenko, penasihat kementerian dalam negeri Ukraina yang menuliskan analisa di status facebooknya. Dia menyebut, teroris yang menyerang MH17 menggunakan sistem Buk surface-to-air misil, yakni sebuah misil yang memang diluncurkan dari darat untuk menjatuhkan target di udara.
Pakar militer Nick de Larrinaga mengatakan, misil yang bisa menjatuhkan MH17 bukan senjata yang dimiliki oleh kalangan separatis atau pemberontak, terutama yang beroperasi di wilayah timur Ukraina. Menurutnya, para pemberontak biasanya menggunakan misil yang ditembakkan dari punggung, atau shoulder-missile, namun itu jangkauannya hanya 15 ribu kaki.
Karena itu, dugaan yang paling kuat sebagai penyebab jatuhnya MH17 adalah misil jarak jauh dari darat atau biasa disebut surface-to-air missile dan air-to-air missile. "Tapi menurut saya yang paling kuat adalah surface to air missile," ujar analis militer Rick Francona.
Satu alat yang paling populer di Rusia adalah sistem misil Buk. Senjata itu dikembangkan sejak era Uni Soviet dan kini dioperasikan oleh Rusia, termasuk kekuatan militer Ukraine.
Sistem missil itu dikenal dengan nama SA-11 di negara-negara NATO. Alat itu yang paling mungkin untuk menjatuhkan Malaysia Airlines. Senjata itu hanya ada di pasukan militer negara Rusia.
"Pasukan Rusia yang ditempatkan di perbatasan Ukraina mungkin memiliki senjata ini," ujar seorang analis lain kepada CNN.
Ada juga kemungkinan lain seperti senjata misil S-200 yang dioperasikan oleh Ukraina, sama seperti S-300 dan S-400 yang dimiliki Rusia.
Apapun jenis senjata yang dipakai, yang pasti butuh pelatihan dan koordinasi untuk melepaskan senjata seperti itu. Dan hal ini, tidak lazim digunakan oleh kalangan pemberontak.